Senin, 21 Oktober 2013

PELANTIKAN DPC PKB BANYUWANGI















 PELANTIKAN DPC PKB BANYUWANGI

Banyuwangi (pkb.bwi.com) - Dinamika politik yang terjadi di internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Banyuwangi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) tahun 2009 lalu, menyebabkan PKB telah kehilangan beberapa kursi di DPRD Banyuwangi.



Pengalaman itulah yang terus mendorong jajaran DPC PKB Banyuwangi untuk berbenah diri dan melakukan konsolidasi internal dalam menghadapi Pileg 2014 mendatang. Dan saat ini, seluruh kekuatan PKB Banyuwangi yang sempat tercerai-berai dimasa-masa lalu, mulai kembali menyatu untuk bersama-sama membangun PKB. Hal tersebut disampaikan secara langsung oleh Ketua Dewan Tanfidz DPC PKB Banyuwangi, HM Joni Subagio, dihadapan ketua Umum DPP PKB, HA Muhaimin Iskandar, seusai pelantikan pengurus DPC PKB Banyuwangi di Gesibu Blambangan. 
Pada kesempatan tersebut Joni menegaskan, sekarang ini PKB Banyuwangi hanya ada satu yakni PKB dibawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar. “Alhamdulillah, seluruh kekuatan PKB Banyuwangi yang sempat terpecah belah, sekarang sudah kembali kembali menyatu untuk bersama-sama membangun kekuatan PKB menghadapi Pemilu 2014 mendatang. Pak Ali Dardji (KH Ali Sudardji, Dewan Syuro DPC PKB, red.) dan Mas Abdillah  Rafsanzani, juga sudah kembali bergabung dengan PKB,” kata Joni, yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Banyuwangi, sambil menunjuk ke arah dua tokoh yang disebutnya.
Sebagai partai dakwah, kata Joni, pihaknya akan segera melakukan konsolidasi total, termasuk berupaya untuk mengajak kembali para kader yang menurutnya saat ini masih numpang di rumah orang lain. “Kami menghimbau, untuk para kader yang masih menumpang dirumah orang lain, untuk segera kembali ke PKB sebagai rumahnya,” kata Joni.

Sementara itu, acara pelantikan pengurus DPC PKB yang digelar sekaligus dalam rangka Harlah NU ke 85 yang digelar di Gesibu Blambangan, Sabtu (5/2) malam itu juga dihadiri oleh Sekjen DPP PKB, H  Imam Nahrawi, S.Ag., Bupati H Abdullah Azwar Anas, Ketua Pengurus Cabang NU Banyuwangi, KH Masykur Ali serta para tokoh dan Pengurus Parpol se Banyuwangi.(Dmas)

Naskah Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa



Naskah Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa

 

Bahwa cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil dan makmur, serta untuk mewujudkan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Bahwa wujud dari bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat beradab dan sejahtera yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan yang bersumber dari hati nurani; bisa dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah sosial yang bertumpu pada kekuatan sendiri; bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi, tolong menolong dalam kebajikan; serta konsisten menjalankan garis/ketentuan yang telah disepakati bersama.

Bahwa dalam kurun tiga dasawarsa terakhir ini, perjuangan bangsa mencapai cita-cita tersebut terasa semakin jauh dari yang diharapkan. Pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya telah mengabaikan faktor rakyat sebagai pemegang kedaulatan, pengingkaran terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut telah melahirkan praktik kekuasaan tidak terbatas dan tidak terkendali, yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat.

Bahwa untuk mewujudkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut serta mencegah terulangnya kesalahan serupa dimasa mendatang, diperlukan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Didalam tatanan kehidupan yang demokratis itu, warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari bangsa Indonesia bertekad untuk bersama komponen bangsa lain mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, berakhlak mulia dan bermartabat melalui suatu wadah partai politik.

Maka dengan memohon rahmat, taufiq, hidayah dan inayah Allah SWT serta didorong oleh semangat keagamaan, kebangsaan dan demokrasi, kami warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan ini menyatakan berdirinya partai politik yang bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka dan demokratis yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa.

Jakarta, 29 Rabiul Awwal 1419 H/23 Juli 1998 M

Para Deklarator

MUNASIR ALI
ILYAS RUCHIYAT
ABDURRAHMAN WAHID
A.     MUSTOFA BISRI
A. MUHITH MUZADI


Membangun Loyalitas dan Intergritas Kader Partai
( Oleh : H.M. Joni Subagio, SH, MH )

Tidak bisa dipungkiri lagi,  bahwa  jantung  pertahanan  sebuah  partai  terletak   pada kekuatan loyalitas dan integritas para anggotanya.  Tak  kan  berarti sebuah partai jika tidak ada bagian penyokong utama organisasi tersebut, yaitu anggota.

Namun, kekuatan loyalitas dan intergritas anggota tidak-lah muncul begitu saja.   Ia dilandasi oleh  berbagai  kekuatan  dalam  diri  mereka.   Tidak sedikit  loyalitas   itu  datang  atas dasar kesamaan visi dan misi, datang  dari  ikatan  emosional, rasional, juga tidak sedikit yang loyal karena unsur duniawi.

Keloyalan anggota yang kokoh biasanya tidak menganut sistem '' balas budi '' dan juga segala aksesoris keduniaan.  Ia  lahir dalam  pandangan  yang  utuh karena kecintaan yang tulus, dan kadang   penuh  ikatan  emosional.  Lebih dari itu,  juga  karena  rasionalisme  yang    matang terhadap partai tersebut. Tidak sedikit partai politik di Indonesia yang  berkembang atas dasar ikatan emosional, meskipun di sisi lain tentu saja atas dasar beberapa kesamaan visi dan misi.
 
Partai yang berbasis atas dasar ikatan emosional biasanya lahir dari latarbelakang keagamaan, suku atau ideologi. Di sini kita akan menemukan beberapa partai yang masuk  dalam kategori tersebut, yaitu  Partai  Kebangkitan  Bangsa  (PKB)  yang  dilahirkan  oleh   rahim  Nahdlatul 'Ulama (NU),Partai Amanat Nasional (PAN)yang dibidani oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, Partai Bulan Bintang (PBB) yang dibentuk oleh kalangan Masyumi dan lainnya.

Partai-partai yang berbasis ikatan emosional tersebut tentunya bisa lebih mudah menjaring masa di bawah pada awal pembentukannya, tentu saja karena dorongan ikatan emosional tersebut. Malah konon, sewaktu pembentukan PKB, jajaran petinggi NU waktu itu menginstruksikan pengurus NU sampai ke kepengurusan paling bawah untuk segera membantuk kepengurusan PKB. Hal ini tentunya sangat positif bagi mereka yang bergerak di politik praktis -dalam hal ini PKB- karena bisa cepat berkonsolidasi, namun juga dirasa menjadi efek negatif bagi mereka yang bertahan untuk menjaga identitas sebagai organisasi keagamaan (NU).
 
Meskipun mereka cenderung mudah menjaring massa, namun untuk perkembangan dan eksistensi sebuah partai, tidak bisa mengandalkan dari ikatan emosional. Tidak sedikit partai yang akhirnya tidak eksis karena kurangnya pembenahan partai secara utuh. Salahsatu contoh yang bisa kita lihat adalah Partai Bulan Bintang (PBB), yang kemarin waktu pemilu tahun 2004 tidak bisa memenuhi batas electrocal treshold untuk ikut pemilu selanjutnya. Bisa saja hal ini terjadi pada partai-partai yang kini masih eksis, seperti PKB, PAN atau lainnya jika tidak bisa mengantisipasi dari sekarang atau mungkin tidak bisa mengatasi permasalahan internal partai yang terjadi selama ini.
 
Untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan dalam diri partai, yang bisa berujung pada terjadinya ketidakeksistensian, maka partai tentunya harus membuat program dan stategi yang efektif. Program yang efektif ini juga harus dijalankan sebaik mungkin secara komprehensif dan terpadu. Tidak sedikit partai yang sudah membuat program ini secara detail, namun aplikasinya masih nol. Salahsatu instrumen penting dalam program partai untuk menjaga eksistensi tersebut adalah kaderisasi partai.
 
Jika mau jujur, program kaderisasi yang berkelanjutan dalam tubuh partai sekarang ini sangat sedikit. Disini kita mungkin bisa menemukan sebuah contoh partai yang cukup baik dalam program  kaderisasi  yaitu  Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS,  yang awalnya adalah kelanjutan dari Partai Keadilan, bisa dibilang cukup memberikan prospek yang baik dalam kancah perpolitikan bangsa. Hal ini tentunya tidak terlepas dari program kaderisasi partai, selain program-program penting lainnya.
 
Menilik lebih jauh pada kaderisasi di tubuh PKS, maka kita akan menemukan akar kekuatannya yang bertumpu pada kekuatan anggotanya di dalam lingkaran-lingkaran pengajian (baik kecil maupun besar) dan dibina secara berkesinambungan. Bahkan untuk identitas anggota pun mereka memiliki tingkatan-tingkatan sendiri, dan untuk masuk tiap tingkatan itu juga melalui suatu ujian atau pelatihan. Program pembinaan anggota ini lah yang kiranya patut ditiru oleh partai lain, meski dalam kemasan yang berbeda. Langkah ini ibaratnya untuk mengantisipasi terjadinya kapal yang ombang-ambing atau mungkin karam karena kapal memiliki awak yang kompeten.
 
Membangun Loyalitas dan Integritas Kader

Tidaklah mudah untuk membangun loyalitas dan integritas kader sebuah partai. Hal ini perlu kematangan konsep dan kebijakan partai yang cerdas serta didukung penuh oleh segenap anggota partai. Meski demikian, dalam penglihatan penulis, sedikitnya ada 5 (lima) langkah besar dalam upaya membangun loyalitas dan integritas partai.
 

5 langkah besar tersebut adalah pertama, menanamkan ideologi partai secara rapi dan mendalam; kedua, memberikan dukungan penuh kepada anggota/kader dalam setiap kegiatan partai (baik secara moril maupun spirituil); ketiga, membentuk jaringan anggota/kader yang representatif, berkualitas dan profesional; keempat, menyelenggarakan program pembinaan anggota/kader secara terpadu, merata dan berkelanjutan; dan terakhir, kelima, memberdayakan anggota/kader secara optimal di tengah-tengah masyarakat.
 
Ideologi yang ditanamkan kepada anggota/kader partai tentunya disesuaikan dengan jiwa dan semangat partai tersebut pada saat dilahirkan. Sebagai contoh pada PKB, selain mengidentitaskan dirinya sebagai partai nasionalis, pluralis (keberagaman) dan inklusif (keterbukaan), PKB juga tetap menggunakan hubungan emosionalnya dengan Nahdlatul 'Ulama sebagai bidan yang melahirkannya di masa reformasi. Ideologi NU dan ajaran Ahlus Sunah Wal Jama'ah pun menjelma menjadi jimat PKB dalam meraup suara massa di bawah, khususnya di Jawa. Tak pelak, eksistensi PKB dan segala lika likunya juga terkadang menjadi catatan tersendiri bagi NU. Jika hubungan emosionalnya dengan NU dan sifat nasionalisme dalam diri partai bisa dirancang dan dikonstruksi dengan begitu rapi, maka tidak mustahil akan lahir loyalitas yang tinggi dalam generasi-generasi PKB. Hal ini juga berlaku pada partai-partai yang lain agar bisa tetap eksis di kancah perpolitikan bangsa Indonesia, tentunya disesuaikan dengan ideologi dan sifat organisasinya masing-masing.
 
Langkah lainnya adalah perlunya dukungan yang kuat dari partai kepada anggota/kader dalam mengikuti kegiatan atau program partai. Tidak sedikit dari anggota, simpatisan bahkan kader yang keluar dari partai karena kurangnya dukungan dari organisasi. Dukungan tersebut tidak berarti berupa materiil atau sesuatu yang di-uang-kan, melainkan suatu bentuk penghormatan atau penghargaan kepada anggota/kader untuk bisa aktif secara optimal. Sebagai contoh adalah perlunya sarana prasarana yang memadai untuk melakukan koordinasi atau proses administrasi organisasi. Meskipun hal ini tidak menjamin dalam kuatnya partai, tetapi penulis meyakini bahwa hal ini sangat menunjang dalam menjaga loyalitas dan integritas anggota/kader partai, sehingga secara langsung memberikan masa depan yang cerah dalam keberlangsungan partai nantinya.

Selain itu, langkah yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya pembentukan jaringan anggota/kader yang representatif, dalam arti jaringan anggota/kader tersebut bisa mewakili organisasi/partai dalam wilayah tertentu. Juga bersifat merata, artinya jaringan tersebut dibangun di seluruh wilayah, tempat partai dibangun. Di sisi lain, jaringan ini juga diharapkan bisa menjadi wadah anggota/kader partai yang berkualitas dan profesional. Kualitas di sini bisa dilihat dari segi manapun juga, yang jelas tingkat loyalitas dan integritas terhadap partai tidak perlu diragukan. Sedangkan profesional, organisasi yang dibangun tersebut bekerja atas dasar kemampuan manajerial yang baik dengan berlandaskan aturan organisasi yang ada.
 
Langkah keempat dalam membangun loyalitas adalah menyelenggarakan program pembinaan anggota/kader secara terpadu, merata dan berkelanjutan. Terpadu berarti program dibangun secara utuh dan bertahap sampai selesai. Merata berarti program pembinaan dilaksanakan di semua lini kehidupan dan dimanapun. Kalau pun tidak bisa dilaksanakan pada semua wilayah, maka perlu dilakukan sistem prioritas sehingga tujuan organisasi bisa optimal. Sedangkan program yang berkelanjutan tentunya program bisa dilaksanakan secara terus menerus sesuai periode waktu yang disepakati dalam organisasi.
 
Langkah kelima menurut penulis adalah partai mampu memberdayakan anggota/kader secara optimal untuk berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Partai mampu mengarahkan dan memobilisasi massa di bawah sebagai bagian dari partai yang turut berpartisipasi dalam kekuatan sosial masyarakat. Hanya saja, kiprah yang dilakukan bukanlah semata-mata atas dasar instruksi atau perintah partai, melainkan sebagai tanggung jawab secara moral di tengah masyarakat. Apalagi dalam kaitannya dengan bidang sosial, maka hal ini adalah sudah menjadi komitmen pada diri tiap partai yang ada. Karena pada hakikatnya, partai tidak sekedar bisa membawa seseorang menuju kepada kekuasaan, atau sekedar mediator dalam mengaspirasikan suara di bawah, tetapi partai adalah organisasi yang lahir dalam upaya membangun masyarakat sipil yang kuat dan menyeluruh di berbagai bidang kehidupan. Jika partai bisa membangun keadaan ini, niscaya loyalitas dan integritas anggota/kader partai pun bisa meningkat.
 
Langkah-langkah tersebut di atas pada hakikatnya adalah bagian integral dari program partai secara keseluruhan. Sungguh menjadi kekuatan besar dalam diri sebuah partai jika bisa melaksanakan program-program partai yang ada, termasuk program kaderisasinya. Program kaderisasi menjadi sesuatu yang sangat penting karena menyangkut tongkat kepemimpinan partai, dengan kata lain menyangkut keberlangsungan sebuah partai. Partai yang bekerja dengan sistem kaderisasi yang baik tentu saja memberikan masa depan yang cerah. Sebaliknya, tanpa program kaderisasi yang baik maka partai tidak bisa tumbuh dan berkembang secara baik, malah mungkin kehancuran yang akan datang. Wallahu A'lam Bish Showab.
 


Minggu, 20 Oktober 2013

Bersama PKB, Perjuangkan Aspirasi Politik NU untuk Bangsa

PUNCAK peringatan Harlah ke-85 Nahdlatul Ulama (NU) berlangsung meriah di Stadion Gelora Bung Karno, kemarin. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan representasi gerakan politik sengaja didirikan untuk melanjutkan perjuangan aspirasi politik kaum Nahdliyin. Seperti apa sejarahnya” Berikut petikan wawancara Hari Azhari, Wartawan INDOPOS, dengan Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar.

Kenapa pergerakan politik NU harus melalui wadah PKB?

Pada masa reformasi muncul kesadaran baru bahwa NU perlu kembali ke khittoh sebagai kekuatan sosial keagamaan, ekonomi dan budaya. Kesadaran itu sebagai evaluasi untuk membagi perjuangan kaum Nahdliyin. Yakni NU mengurusi bagian sosial keagamaan, ekonomi, dan budaya. Sementara, untuk melanjutkan perjuangan politiknya didirikanlah partai sekitar 1997-1998 dengan nama PKB sebagai alat perjuangan politik NU. Keputusan itulah yang membuat NU tidak terlibat langsung dalam politik praktis lagi, tidak lagi memiliki dua fungsi seperti pada masa orde lama, yaitu sebagai ormas dan di sisi lain sebagai parpol.

NU dikenal sebagai ormas kaum Nahdliyin, kenapa juga harus berpolitik?

Dalam sejarahnya, ormas yang kini bernama NU itu berawal dari dua kelompok gerakan, yaitu Raisul Fikr atau Taswirul Afkar, kelompok atau gerakan intelektual, dan Nahdlatut Tujjar yakni kelompok pengembangan ekonomi yang berbasis pada gerakan para pedagang atau pengusaha. Kedua kelompok ini yang akhirnya menjadi kekuatan NU sebagai pergerakan yang concern pada sosial, keagamaan, ekonomi, budaya dan politik.
Artinya, yang harus kita pahami bahwa NU bukanlah semata ormas yang memiliki paham keagamaan, tapi juga paham kebangsaan yang lahir atas perkawinan antara Islam dan tradisi budaya.

Dengan berdirinya PKB, apakah NU sudah tidak berpolitik lagi?

NU secara organisasi memang sudah tidak ikut dalam politik praktis, hanya sebagai gerakan di bidang sosial keagamaan dan budaya. Tapi dengan lahirnya PKB tentu gerakan politik NU tetap berjalan. Sebab, PKB itu sendiri dilahirkan atas dua mandat. Yaitu lahir dari dinamika reformasi sebagai logika demokrasi, serta sebagai anak kandung dalam gerakan politik NU. Dengan mandat itu, peran politik kaum Nahdliyin yang dulunya menjadi kesatuan di tubuh NU sekarang dipisah di dalam gerakan politik PKB.

Tahun ini PKB memasuki usia ke 13. Apa harapan Anda?

Dalam momentum Harlah ke-13 ini, kami memiliki beberapa agenda yang diberi nama konsolidasi tahap II. Salah satu agendanya adalah adanya kesadaran menyikapi perbedaan pendapat sebagai hal wajar. Perbedaan pandangan jangan lagi diposisikan sebagai sesuatu yang mengancam integritas antar kader, sehingga berimbas pada permusuhan. Karenanya, itulah yang disebut sebagai upaya untuk membangun tradisi politik yang sehat dalam parpol.

Sebagai anak kandung NU, apa harapan PKB dengan usia ke-85 NU?

Setelah NU berkembang dan besar, yang perlu dipahami para generasi mudanya adalah bahwa pencapaian tersebut dilakukan dengan serba keterbatasan para pendiri dan pengembang NU. Mereka bekerja dan bergerak dengan tanpa fasilitas memadai. Para pendahulu kita bekerja dengan tiga modal, yaitu keikhlasan mengabdi, kecerdasan menyampaikan ajaran NU, dan kepemimpinan yang baik.Modal tersebut yang menjadikan NU besar sampai menjadi kekuatan sangat luar biasa di tanah air ini, meski dalam kondisi serba keterbatasan sarana dan pra sarana.
Karena itu, generasi muda NU dan PKB harus menjadikan sejarah itu sebagai spirit untuk melakukan pengembangan dan gerakan-gerakan lebih cangih lagi, sehubungan kondisi sekarang yang serba modern ini. Jika kita bisa melakukan itu, berarti kita tidak salah memaknai Harlah NU yang sudah memasuki usia renta ini.Sebab, yang menjadi cita-cita NU itu adalah menjadi tujuan dari perjuangan PKB, untuk mengabdikan diri buat bangsa dan negara. NU di luar Jawa kurang kuat, tapi PKB cukup kuat bahkan terbentuk hingga ranting atau desa dan perkampungan. Tapi di Jawa NU sangat kuat, sebaliknya PKB agak kurang.Di sinilah maka terjadi saling menopang antara PKB dan NU, dengan fungsi dan perannya masing-masing. Tapi kondisi PKB saat ini, Insya Allah sudah kuat dan mengakar, ibarat pohon akarnya makin kuat ke bawah dan makin menjulang ke atas.

HMJS

PKB ‘Ogaaah!’ Gabung Di Poros Tengah


Walau politisi seniornya bergabung di dalam poros tengah yang kini mau dihidupkan kembali dalam rangka menyambut pilpres 2014, dengan mimpi seperti yang terjadi di tahun 1999, ketika poros tengah, berhasil mempoisisikan KH. Abdurrahman Wahid sebagai presiden, menggeser Megawati Soekarno Poetri.  Justru kini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menolak bergabung dalam poros tengah jilid II yang merupakan koalisi partai Islam.

PKB memilih terbuka dengan partai dari berbagai ideologi untuk berkoalisi. Walau saat ini partainya tengah mengusung Mahfud MD sebagai capresnya, tapi PKB tak akan memberi batasan pada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu untuk aktif di poros tengah.

PKB memiliki penilaian tersendiri perihal ketidakinginan partai ini bergabung dengan poros tengah, poros tengah cenderung ekslusif dan sentimen terhadap satu ideologi tertentu. Padahal, dengan sistem pemilu saat ini mestinya koalisi tak boleh lagi tersekat-sekat dengan ideologi tertentu.

Pencalonan Kandidat Calon Presiden Fraksi PKB 

Begitu gencar promosi dari berbagai politisi terhadap pemilihan calon presiden 2014. Seperti yang kita ketahui, yaitu wiranto, prabowo, bahkan Aburiezal Bakrie sudah mencalonkan diri sebagai calon presiden 2014. Bagaimana tanggapan Anda apabila Rhoma Irama yang dicalonkan menjadi calon presiden 2014 oleh partai PKB.
Di usung dari salah satu berita, denger – denger nih, salah satu penyanyi dangdut kondang akan di calonkan dari partai PKB sebagai calon presiden 2014. Awalnya, mereka masih ragu dan Partai Kebangkita Bangsa pun menyatakan bahwa belum tentu Rhoma Irama yang akan menjadi calon presiden 2014 dari fraksi PKB, melainkan Mahfud MD. Keduanya pun sebenarnya bersaing ketat dan mereka masih bingung memikirkannya. Ada beberapa pertimbangan yang membuat partai PKB mencalonkan mereka berdua sebagai kandidat calon presiden dari fraksi PKB.
Toh apa salahnya artis ngeksis jadi calon presiden? Dua orang ini masih dinilai bagaimana popularitas dan efektabilitas yang dimilikinya. Pernyataan ini muncul dari salah satu ketua fraksi PKB itu sendiri. Dalam hal ini, sebenarnya mereka pun masih bingung dalam menetapkan pencalonan presiden untuk fraksi PKB itu sendiri. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menguji kedua kandidat ini, yaitu Rhoma Irama dan Mahmu MD. Siapakah yang lebih pantas menjadi kandidat calon presiden bagi PKB. Partai Kebangkitan Bangsa pun ingin melihat respon yang diberikan publik terhadap dua figur tersebut.
Setelah salah satu dari mereka mendapat tanggapan terbaik dari masyarakat, maka PKB pun mampu menenutukan dan memberikan pilihan terbaik sebagai calon presiden yang ditetapkan. Namun, sebenarnya ketua PKB menanggapi pendapat Marwan dan memberikan pernyataan bahwa beliau tidak tahu – menahu mengenai pencalonan presiden dari fraksi PKB dan beliau pun masih belum tertarik dalam hal ini. Namun, Marwan juga tidak bisa memberikan jawaban pasti akan pencalonan presiden ini, sehingga dia memberikan info kepada publik bahwa beliau akan memberitahukannya pada saat bulan oktober pada saat jumpa pers. Tinggal menunggu saja nanti hasil keputusannya bagaimana, imbuhnya, ketika di tanya untuk memberikan penjelasan mengenai kejelasan kandidat calon presiden dari fraksi PKB.

HMJS

Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis

Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.

Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara Merdeka, 22 Maret 2004).

Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.

Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002. Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)

Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.

Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus  mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara.

Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.
Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah  organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran.  Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)
Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

Karir Organisasi NU

Pada awal  1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.

Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto.  Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.

Menjadi Presiden RI ke-4

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.

Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.

Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Gus Dur

Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4

Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi  referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.  Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut.  Netralisasi  Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland
Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.

Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia.  Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara.  Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.

Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.

Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.

Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.
Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.

Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.

Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki “Presiden Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.

Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak terlupakan.

Hal-Hal Positif dari Gus Dur

All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not.  The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid- (source)
Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.
  • Pertama :  Akan selalu berpihak pada yang lemah.
  • Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
  • Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.
Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.
Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.

Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain

Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi  dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :
  • Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
  • Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
  • Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
  • Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
  • Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
  • Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Penghargaan-penghargaan lain :
  • Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
  • Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
  • Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
  • Pejuang Kebebasan Pers
Selamat Jalan Gus Dur
Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur
Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang ‘agung’.


Wallahul muaffieq
ila aqwamiethorieq
HMJS

SEJARAH LAHIRNYA PKB

SEJARAH BERDIRINYA PARTAI KEBANGKITAN BANSGA (PKB)

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lahir saat reformasi yakni tepatnya tanggal 23 Juli 1998. Masa orde baru tumbang membuat para ulama kebanjiran usulan agar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membentuk partai politik beserta nama dan lambangnya. Dalam menyikapi usulan yang masuk dari masyarakat Nahdliyin, PBNU menanggapinya secara hati-hati. Hal ini didasarkan pada adanya kenyataan bahwa hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis.

Namun demikian, sikap yang ditunjukan PBNU belum memuaskan keinginan warga NU. Banyak pihak dan kalangan NU dengan tidak sabar bahkan langsung menyatakan berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat. Setelah melalui pembicaraan yang cukup panjang, akhirnya keinginan warga NU pun dipenuhi.

Sebuah partai bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lahir dari tangan sang inisiator yakni almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Selain Gus Dur, partai yang memilki basis di Jawa Timur ini juga diperkuat dengan deklarator lainnya yaitu Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, A. Mustafa Bisri, A. Muhith Muzadi. Penentuan nama partai disahkan melalui hasil musyawarah Tim Asistensi Lajnah, Tim Lajenah, Tim NU, Tim Asistensi NU, Perwakilan Wilayah, Ketua-ketua event Organisasi NU, para tokoh pesantren dan tokoh masyarakat.

DEKLARASI PKB
Usai pembentukan partai, deklarasi pun dilaksanakan di Jakarta tanggal 29 Rabiul Awal 1419 H atau 23 Juli 1998. Salah satu bunyi dalam isi deklarasi tersebut adalah bahwa cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil dan makmur, serta untuk mewujudkan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Bahwa wujud dari bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat beradab dan sejahtera yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan yang bersumber dari hati nurani, bisa dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah sosial yang bertumpu pada kekuatan sendiri, bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi, tolong menolong dalam kebajikan, serta konsisten menjalankan garis/ketentuan yang telah disepakati bersama.
Maka dengan memohon rahmat, taufiq, hidayah dan inayah Allah SWT serta didorong oleh semangat keagamaan, kebangsaan dan demokrasi, kami warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan ini menyatakan berdirinya partai politik yang bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka dan demokratis yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa.

(Dikutip dari berbagai sumber)
HMJS